TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan pembangunan industri garam, yang akan dikelola PT Garam (Persero), di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur, membutuhkan ongkos Rp 1,8 triliun. Biaya diperlukan untuk menghasilkan garam 500 ribu ton per tahun.
"PT Garam bilang sanggup. Bisa pinjam ke bank, kata mereka,” kata Unggul kepada Tempo saat ditemui, kemarin.
Pemerintah berencana melakukan ekstensifikasi 5.000 hektare lahan garam di Nusa Tenggara Timur. Di lahan tersebut, BPPT akan mengembangkan teknologi berbasis tanggul dan reservoir untuk mempercepat masa penguapan air laut menjadi garam.
Saat laut pasang, air akan masuk ke reservoir dan saluran khusus agar dapat berevaporasi. Di saluran tersebut, garam dengan kekentalan tinggi masuk ke reservoir berikutnya sehingga terjadi pengkristalan. Garam kristal inilah yang dapat disetorkan ke pabrik untuk dikeringkan menjadi garam konsumsi, industri, dan farmasi. "Ketika masuk kristalisasi, butuh empat hari untuk dipanen," kata Unggul.
Baca: Krisis Garam di Indonesia, Apa Sebabnya?
Pemerintah memilih Nusa Tenggara Timur lantaran memiliki cuaca panas 6-8 bulan dengan air laut yang lebih asin. Per hektare tambak akan menghasilkan 100-120 ton garam. Proyek di Nusa Tenggara Timur merupakan proyek percontohan sebelum pengembangan industri serupa di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
Direktur Produksi PT Garam Budi Sasongko mengatakan perusahaan telah mengelola 400 hektare lahan ulayat di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang, sejak tahun lalu. PT Garam siap mengelola 3.800 hektare lagi apabila lahan telah dibebaskan. "Yang itu belum diserahkan," katanya.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Nusa Tenggara Timur Josias Benyamin Lola mengatakan pengelolaan tambak garam di Kupang tak maksimal lantaran minimnya pabrik. Ia menyebut 22 kabupaten di Nusa Tenggara Timur berpotensi dikembangkan sebagai sentra industri garam.
DIKO OKTARA | YOHANES SEO