TEMPO.CO, Jakarta - Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Mustafa Abubakar mengatakan tak ada konsekuensi kerugian biaya yang dialami perusahaan pelat merah tersebut, khususnya karena tiga kali telah menunda peluncuran satelit yang diberi nama BRIsat itu.
“Karena satelitnya belum di-hand over, masih tanggung jawab pabrik,” ucap Mustafa saat ditemui di Rumah Dinas Wakil Presiden, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 Juni 2016.
Mustafa juga berujar, penundaan peluncuran satelit ini untuk yang ketiga kalinya tak berpengaruh dalam beberapa rencana kerja yang akan dilakukan BRI. “Kalau pengaruh yang sebegitu jauh sih, enggak ya,” tuturnya.
Mustafa mengatakan pihaknya harus bisa menerima kenyataan dan bisa memahami bahwa ada faktor-faktor yang tak bisa diatasi, seperti faktor cuaca dalam peluncuran satelit tersebut. Ia berharap rencana peluncuran berikutnya tak gagal lagi.
Satelit BRIsat kembali gagal diluncurkan untuk yang ketiga kalinya. Kali ini faktor cuaca menjadi penyebabnya. Menurut Mustafa, baik dari sisi satelit maupun peluncurnya tak mengalami masalah kali ini. Adapun penundaan peluncuran dilakukan sampai 24 jam ke depan.
BRI segera mencatatkan rekor sebagai bank pertama di dunia yang memiliki dan mengoperasikan satelit telekomunikasi. Satelit itu rencananya akan diluncurkan Arianespace di Guyana Space Center, Kourou, Guyana Prancis, pada Jumat, 17 Juni 2016, pukul 17.30 waktu setempat. Namun satelit itu ditunda peluncurannya karena faktor cuaca.
BRIsat, yang menelan investasi Rp 3,375 triliun, akan mengorbit di langit Papua menggantikan satelit milik Indosat yang sudah kedaluwarsa. BRI mengklaim BRIsat bisa meminimalkan gangguan jaringan pada sebelas ribu kantor cabangnya. Sebanyak 53 karyawan didapuk menjadi operator satelit buatan Space System Loral, Amerika Serikat, ini.
Manajemen BRI mengklaim BRIsat bisa menghemat beban operasi hingga 40 persen atau sekitar Rp 200 miliar. Selama ini, BRI menyewa satelit berkapasitas 23 transponder dari pihak lain dengan biaya Rp 500 miliar per tahun. BRIsat, yang memiliki 45 transponder, juga akan dimanfaatkan empat instansi pemerintah, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
DIKO OKTARA