//EMPTY DIV!!
//EMPTY DIV!!

Tambang Emas Martabe, Batang Toru, Tapanuli Selatan

Minggu, 30 September 2012 10:23:12
photo: G-Resources

24 Juli 2012 menjadi hari istimewa bagi G-Resources Group Limited, perusahaan tambang emas yang bermarkas di Hongkong. Hari itu, aset utama bisnisnya, tambang emas di Desa Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera utara, secara resmi 'menelurkan' emas dan perak batangan yang pertama. Mimpinya untuk menghasilkan 1 juta ounce (28 ton) emas per tahun, dalam jangka 5 tahun ke depan, bakal segera terwujud. Tapi, apa mau dikata, mulai Oktober 2012, tambang yang kontrak karyanya diteken pada April 1997 itu bakal menghentikan seluruh operasinya, dan merumahkan 2.000 pekerjanya. Itu kalau kisruhnya dengan penduduk sekitar tak kunjung bisa diselesaikan.

Bulan September ini memang bulan sibuk bagi G-Resources. Berbagai perundingan terus dilakukan agar kisruh dengan penduduk sekitar selesai. Kisruh apa? Kisruhnya tak lain soal langkah sang tambang membangun pipa pembuangan air limbah tambang emas ke Sungai Batang Toru. Bukan air limbah murni, tapi air yang sudah diproses di instalasi pengolah limbah di tambang Martabe. Penduduk tak setuju karena takut sungai tercemar. Kisruh serius pun sudah terjadi. Harian Sumut Pos mencatat, pada 12 Juni lalu warga sekitar membakar mobil proyek dan pipa-pipa pembuangan yang sedang dipasang. Sejak itu, berbagai demo dan aksi menentangpun semakin gencar. Ujung-ujungnya, pada 14 September lalu, PT Agincourt Resources --anak perusahaan G-Resources yang jadi pemilik dan pengelola tambang-- mengumumkan niatan untuk menutup tambang kalau upaya mediasi gagal terus.

Tambang Martabe terbilang luas. Total areanya, sesuai kontrak karya, mencapai 1.639 km persegi, yang membentang searah pulau Sumatera sepanjang 110 km. Ditaksir, cadangan yang tersimpan di sana mencapai 7,86 juta ounce emas dan 73,48 juta ounce perak. Cadangan itu tersebar di sejumlah lokasi penambangan. Lokasi yang sekarang sudah berproduksi adalah tambang Purnama (Purnama Pit), yang punya area seluas 30 km persegi, dan bisa berproduksi hingga 10 tahun mendatang. Diperkirakan, tambang yang menggali emas via terowongan ke dalam bumi ini bisa menghasilkan emas 250 ribu ounce (7 ton) per tahun dan 2 hingga 3 juta ounce (56-85 ton) perak pertahun. Sebagai perbandingan, saat ini PT Aneka Tambang per tahunnya menjual sekitar 3,6 ton emas, yang sepertiga di antaranya, 1,2 juta ton, dibeli oleh Perum Pegadaian.

Untuk menggarap tambangnya, G-Resource maupun PT Agincourt Resources, tidak mengerjakannya sendiri. Melainkan melimpahkan segala pekerjaan kepada Leighton Asia, anak perusahaan Leighton Holding Limited yang bermarkas di Australia. Kontrak kerjanya bernilai 234 juta dolar AS dan berlaku mulai Agustus 2010 hingga Desember 2015. Pekerjaannya meliputi pembuatan base camp, pembangunan infrastruktur tambang, hingga ke pengeboran dan penggalian tambang. Sejumlah kontraktor lokal juga berperan dalam pengembangan inrastruktur tambang Martabe, antara lain PT Duta Graha Indah Tbk dan PT Lintecth Duta Pratama.

Adapun hasil emas Tambang Martabe, selain dicor sendiri menjadi emas batangan, juga diserahkan ke Logam Mulia, unit bisnis PT Aneka Tambang, untuk dijadikan logam mulia (emas dan perak) dengan kemurnian yang lebih tinggi.

Peta & Citra Satelit

PT Agincourt Resources

G-Resources Group Limited
China Resources Building
26 Harbour Road, Wanchai
Hong Kong




PT Agincourt Resources
Wisma Pondok Indah, Lantai 12, Suite 1
Sultan Iskandar Muda Kav V-TA
Pondok Indah
Jakarta Selatan


Website: www.g-resources.com


Link:

Pemkab Tapanuli Selatan - www.tapanuliselatankab.go.id
Leighton Asia - kontraktor tambang - www.leighton.com.au www.leightonasia.com
ERM Group - konsultan AMDAL - www.erm.com


Catatan:
Citra satelit yang dimiliki Google masih citra satelit versi 2003. Karenanya, citra satelit tersebut belum bisa memunculkan penampakan suasana tambang seperti yang terlihat pada foto.

Konflik Tambang Emas Martabe

Konflik yang terjadi di tambang emas Martabe dikabarkan sepenuhnya dipicu oleh persoalan pembangunan pipa pembuangan limbah sepanjang 2,7 kilometer ke Sungai Batang Toru, yang berada di selatan tambang, bersisian dengan pemukiman penduduk. Masyarakat menolaknya karena tak ingin sungai di wilayahnya tercemar. Mereka ingin PT Agincourt membangun saluran pembuangan langsung ke Samudera Indonesia yang ada tepian Barat Tapanuli Selatan.

PT Agincourt sendiri sudah meyakinkan masyarakat bahwa kehadiran pipa pembuangan itu sudah sesuai dengan izin Amdal yang dimilikinya. Amdal ini dibuat oleh ERM Group dan sudah mendapat restu pemerintah pada 2008. Menurut Agincourt, yang dibuang ke sungai bukanlah air limbah murni, melainkan air limbah yang sudah diproses terlebih dahulu menjadi air normal di instalasi pengolah limbah milik tambang Martabe. Sejak mulai beroperasi Juni lalu, air tersebut masih bisa ditampung di instalasi tambang Martabe. Namun karena musim penghujan segera datang, bak penampung dipastikan takkan cukup lagi. Karenanya, dan juga sesuai dengan Amdal, air itu mesti dibuang ke sungai Batang Toru.

Pemerintah Daerah sendiri sudah turun tangan menengahi konflik ini. Tim Advance yang didatangkan menyimpulkan kisruh ini semata-mata karena langkah pemasangan pipa pembuangan kurang disosialisasikan. Ketua tim pun, Eddy Sofyan Purba, pekan lalu menegaskan bahwa air limbah tambang emas Martabe itu layak minum. ''Status airnya A1, yang artinya air bisa diminum setelah dimasak. Bukan langsung diminum,'' kata Eddy. Ia pun menambahkan, ''Pihak perusahaan bersama pemerintah daerah nantinya bersedia membuktikannya dengan meminumnya setelah dimasak.''

Belum usai kisruh limbah, 'kisruh' lain sudah mulai menyeruak. Sejak awal September Plt Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho menyuarakan tuntutan penambahan kepemilikan saham di tambang emas Martabe. Saat ini, pemerintah daerah mendapat jatah saham sebesar 5 persen. Gatot ingin, jatah saham goodwill di tambang Martabe dinaikkan jadi 10 persen. Saham pemerintah daerah itu dimiliki lewat PT Artha Nugraha Agung, perusahaan yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan 30 persennya lagi milik Pemprov Sumatera Utara.